Tanggal 22 Oktober bukan sekadar momen peringatan Hari Santri Nasional; ia juga menyingkap jejak panjang dakwah, pendidikan, dan perjuangan yang telah ditorehkan oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, tokoh sentral Nahdlatul Wathan dan pahlawan nasional asal Lombok NTB. Hari Santri menegaskan bahwa santri dan pesantren adalah mesin utama preservasi identitas keagamaan yang moderat, inklusif, serta berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.
Kisah 22 Oktober mengingatkan kita pada dua arah yang saling melengkapi: perayaan keberanian para santri dalam menjaga persatuan bangsa, dan momen pemakaman seorang ulama yang menekankan nilai-nilai keteguhan iman, wawasan keislaman yang luas, serta komitmen kemerdekaan umat dari belenggu penjajahan. Semangat beliau—mendirikan lembaga pendidikan, melakukan safari dakwah, serta membangun jaringan keilmuan—menjadi contoh bagaimana pesantren bisa menjadi motor pembangunan karakter bangsa.
Warisan beliau mengangkat pesantren sebagai pusat pembelajaran yang tidak hanya mengajar kitab suci, tetapi juga membentuk pola pikir kritis, toleran, dan nasionalis. Dalam konteks Indonesia modern, peringatan Hari Santri menjadi kesempatan untuk meneladani sikap beliau: menjaga aqidah yang lurus, merawat persatuan umat berlandaskan budaya lokal, dan berkontribusi pada kemajuan bangsa melalui pendidikan dan dakwah yang bertanggung jawab.
Di era saat ini, peringatan Hari Santri dan refleksi atas jejak Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid menekankan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya terjadi di medan perang, tetapi juga melalui pendidikan, penjagaan nilai-nilai keagamaan yang inklusif, serta pengabdian pada masyarakat luas. Peninggalan beliau mengajak kita untuk terus membangun Indonesia yang berilmu, berdaya, dan berkeadilan.. MD
